Alessandro Nesta: Liverpool Kalah di Final 2007 karena Terlalu Banyak Gaya

oleh -14 Dilihat
Alessandro Nesta menilai kekalahan Liverpool di final Liga Champions 2007 akibat terlalu percaya diri dan pamer setelah comeback luar biasa di Istanbul 2005. AC Milan pun menuntaskan dendam dengan kemenangan 2-1 di Athena. Foto: Marco Luzzani/Getty Images

Legenda AC Milan, Alessandro Nesta, mengungkap bahwa kekalahan Liverpool di final Liga Champions 2007 bukan semata karena permainan, melainkan karena kesombongan setelah kemenangan epik di Istanbul tahun 2005.

Menurutnya, skuad Milan sudah merasa menang sejak di bus menuju stadion, karena The Reds dianggap terlalu berlebihan dalam merayakan kemenangan dua tahun sebelumnya.

London, LintangPos.com – Dua final Liga Champions antara Liverpool dan AC Milan pada 2005 dan 2007 menjadi bagian paling dramatis dalam sejarah sepak bola Eropa.

Namun di balik kejayaan dan luka itu, tersimpan cerita menarik dari legenda Italia, Alessandro Nesta, yang menilai kekalahan Liverpool pada 2007 adalah “harga dari kesombongan”.

Liverpool memang mencetak sejarah pada final 2005 di Istanbul. Tertinggal 0-3 di babak pertama, The Reds bangkit luar biasa hingga menyamakan kedudukan 3-3, lalu menang lewat adu penalti.

Comeback tersebut disebut-sebut sebagai “Keajaiban Istanbul” dan menjadi salah satu laga paling ikonik dalam sejarah Liga Champions.

Namun, dua tahun kemudian, kedua tim kembali berhadapan di final 2007 di Athena.

Kali ini, Milan membalas dendam dengan kemenangan 2-1. Gol dari Filippo Inzaghi membawa Rossoneri meraih trofi ke-7 mereka di kancah Eropa.

BACA JUGA: Arsenal Naik ke Puncak, Liverpool Terpeleset

Dalam wawancaranya di podcast The BSMT bersama Gianluca Gazzoli, Alessandro Nesta mengungkap sisi emosional dari kemenangan tersebut.

“Kami adalah tim yang kuat dan bersatu. Kami sudah menyiapkan diri dan tahu kami akan menang,” kata Nesta.

“Melawan Liverpool, itu seperti takdir yang terulang. Tapi mereka sudah terlalu banyak gaya setelah 2005. Kalau kamu terlalu pamer saat menang, cepat atau lambat kamu akan membayar harganya — dan kami melakukannya pada 2007,” lanjutnya.

Bek legendaris Italia itu juga menegaskan bahwa mentalitas tim Milan kala itu sudah terbentuk bahkan sebelum turun ke lapangan.

“Dari atas bus pun kami tahu kami akan menang. Kami bisa merasakannya — mereka terlalu percaya diri,” ujarnya.

“Ketika kamu menang, kamu harus tahu cara menang dengan elegan.”

BACA JUGA: Angin Segar di Stamford Bridge, Enzo Maresca Sambut Kembalinya Para Pemain Kunci Chelsea

Final tahun 2007 menjadi gelar Liga Champions ketujuh bagi AC Milan, menjadikan mereka klub tersukses kedua di Eropa setelah Real Madrid yang mengoleksi 15 trofi.

Sejak saat itu, Milan belum pernah lagi mencapai final Liga Champions, namun prestasi mereka tetap bertahan di papan atas sejarah kompetisi.

Sementara itu, Liverpool sempat kembali bangkit dengan menjuarai Liga Champions 2019 usai menumbangkan Tottenham Hotspur.

Secara keseluruhan, The Reds kini mengoleksi enam trofi Eropa, sejajar dengan Bayern Munich.

Meski dua dekade telah berlalu, kisah rivalitas antara Liverpool dan AC Milan tetap hidup dalam ingatan penggemar sepak bola.

Dari keajaiban Istanbul hingga “balas dendam” di Athena, kedua final itu menjadi cermin bahwa dalam sepak bola — kemenangan besar harus disikapi dengan rendah hati. (*/red)

No More Posts Available.

No more pages to load.