Jakarta, LintangPos.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan dirinya tidak gentar menghadapi protes 18 gubernur yang menolak rencana pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2026.
Menurut Purbaya, kritik tersebut merupakan hal wajar, namun Kementerian Keuangan tetap harus mempertimbangkan kondisi keuangan negara yang sedang ketat.
“Ini sembilan bulan pertama (2025) ekonomi melambat. Naik turun, tapi cenderung turun terus. Jadi kalau diminta sekarang (menaikkan TKD), pasti saya tidak bisa,” ujar Purbaya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Purbaya, yang menggantikan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, menyebut bahwa rencana pemangkasan TKD 2026 belum bersifat final.
Ia membuka ruang dialog bersama Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) untuk membahas kembali skema transfer fiskal dengan mempertimbangkan kebutuhan riil tiap daerah.
“Kami akan berdiskusi lagi agar kebijakan ini tetap proporsional dan tidak menghambat pelayanan publik di daerah,” katanya.
BACA JUGA: Purbaya Tunda Penerapan Pajak E-Commerce, UMKM Digital Bernapas Lega
Ia menjelaskan, keputusan penyesuaian TKD dilakukan karena kondisi fiskal nasional sedang ketat.
Pemerintah, lanjutnya, berupaya menjaga keseimbangan antara belanja strategis nasional dan kemandirian fiskal daerah.
“Kalau uangnya banyak tapi tidak dibelanjakan dengan efektif, hasilnya juga tidak akan terasa bagi masyarakat. Kita ingin setiap rupiah yang ditransfer berdampak nyata,” tegasnya.
Menurut Purbaya, penyesuaian ini bukan bentuk pengurangan dukungan terhadap daerah, melainkan dorongan agar pemerintah daerah lebih efisien dan transparan dalam penggunaan dana publik.
Pemerintah, kata Purbaya, tetap berkomitmen menjaga keseimbangan fiskal nasional, terutama untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan peningkatan kesejahteraan ASN tanpa mengorbankan pembangunan daerah.
Ia pun membuka peluang untuk menaikkan kembali TKD dalam APBN 2026 apabila kondisi ekonomi membaik.
BACA JUGA: Gaji ASN Naik? Ini Kata Menkeu Purbaya
“Saya akan lihat keadaan uang nanti, memasuki pertengahan triwulan kedua 2026. Kalau ekonomi bagus, pajak naik, bea cukai tidak bocor, harusnya naik semua kan? Kalau naik, kita bagi ke daerah,” ujarnya.
Namun, ia juga mengingatkan agar pemerintah daerah memperbaiki citra dan tata kelola keuangan mereka.
“Kalau mereka bisa perbaiki image itu, ya tidak ada keberatan. Desentralisasi jalan lagi, bukan sentralisasi,” cetusnya.
Purbaya menekankan pentingnya penyerapan anggaran yang baik di daerah. Menurutnya, daerah dengan serapan rendah dan SiLPA tinggi setiap tahun akan sulit mendapat tambahan anggaran.
“Pastikan saja penyerapan anggaran bagus, tepat waktu, dan jangan bocor. Kalau itu terjadi maka tahun depan kita bisa propose ke DPR untuk menambah,” katanya.
Ia juga menegaskan, tidak semua gubernur memprotes kebijakan tersebut.
BACA JUGA: Penurunan TKD Picu Keresahan Daerah, Sumsel Hanya Dapat Rp16,65 Triliun, Berikut Rinciannya!
Purbaya mencontohkan Gubernur DKI Jakarta yang justru memilih solusi kreatif meski mengalami pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) hingga Rp20 triliun.
“Mereka tidak komplain, malah ajukan pembiayaan kreatif untuk menopang APBD Jakarta,” ungkapnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan masih banyak daerah yang justru mampu beradaptasi dengan kebijakan pengetatan fiskal.
Salah satunya Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, yang berhasil melakukan efisiensi sebesar Rp462 miliar dan mengalihkan dana tersebut untuk membangun sistem irigasi seluas 8.000 hektare.
“Lahat mampu menyederhanakan birokrasi dan mengarahkan anggaran ke sektor produktif yang langsung membantu rakyat,” kata Tito.
Dalam Rancangan APBN 2026, alokasi TKD sempat turun tajam menjadi Rp650 triliun atau 29 persen lebih rendah dibandingkan 2025 yang mencapai Rp919 triliun.
BACA JUGA: PWI Pusat Prihatin: Pencabutan Kartu Liputan Istana Dinilai Ancam Kemerdekaan Pers
Namun, di bawah kepemimpinan Purbaya, jumlah itu dinaikkan sedikit menjadi Rp693 triliun—naik Rp43 triliun dari rencana semula.
Dengan kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan, pemerintah pusat dan daerah kini dihadapkan pada pekerjaan rumah besar: menata kembali tata kelola keuangan agar lebih efisien, transparan, dan berdampak langsung bagi masyarakat. (*/red)