Palembang, LintangPos.com – Persidangan kasus dugaan korupsi di lingkungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) kembali memunculkan fakta mencengangkan.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang pada Kamis (9/10/2025), seorang saksi bernama Fitra, pemilik penginapan Kebun Raya Yogyakarta, mengaku pernah diminta membuat nota kosong oleh pihak Disperindag PALI.
Fitra, yang hadir secara daring atas panggilan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari PALI, menyebut permintaan itu dilakukan oleh salah satu pejabat dinas, yaitu terdakwa Brismo, mantan Plt Kepala Disperindag PALI.
Permintaan tersebut terjadi saat survei lokasi penginapan untuk kegiatan dinas pada awal Mei 2023.
“Beberapa orang datang ke penginapan saya, termasuk Pak Brismo. Mereka bilang ingin menyewa kamar untuk kegiatan Disperindag PALI,” ujar Fitra di hadapan majelis hakim yang diketuai Pitriadi SH MH.
Menurut kesaksian Fitra, penyewaan kamar kembali dilakukan pada Oktober 2023 dengan jumlah yang cukup banyak, mulai dari tipe Deluxe hingga Family.
Namun, yang mencurigakan, Brismo sempat meminta nota kosong tanpa alasan yang jelas.
“Nota kosong itu diberikan setelah kegiatan selesai, jumlahnya sekitar 26 lembar. Orang dari Disperindag bernama Winda yang datang mengambilnya,” ungkap Fitra.
Fitra menambahkan, Winda kemudian memintanya agar nota-nota tersebut diberi cap resmi dari penginapan.
“Saya hanya cap saja, tidak berani tanda tangan karena nota itu belum diisi,” tambahnya.
Dalam penyidikan, saksi Fitra diperlihatkan sejumlah barang bukti berupa nota yang sudah diisi dengan nilai sewa yang jauh lebih tinggi dari harga sebenarnya.
Fakta ini memperkuat dugaan praktik markup dalam laporan kegiatan dinas tersebut.
BACA JUGA: Fakta Baru Kasus Korupsi APAR Empat Lawang, Proyek ‘Titipan’ Tanpa Musdes
JPU menyebut bahwa dua terdakwa, Brismo dan Muhtanzi, diduga terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp1,7 miliar dari total pagu anggaran sebesar Rp2,7 miliar tahun 2023.
Kasus ini berkaitan dengan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan pemberdayaan industri serta peran serta masyarakat.
Berdasarkan hasil penyidikan, ditemukan sejumlah penyimpangan anggaran, seperti markup harga, belanja fiktif, dan laporan kegiatan yang tidak pernah dilakukan.
Beberapa kegiatan yang diduga fiktif antara lain pelatihan batik, ukiran kayu, anyaman, serta pelatihan pemberdayaan masyarakat lainnya.
Selain itu, terdapat dugaan penyimpangan dalam pengadaan alat tulis kantor (ATK), biaya publikasi, hingga honorarium narasumber tanpa mekanisme lelang resmi.
“Bahwa para terdakwa tidak pernah melaksanakan kegiatan sebagaimana mestinya, namun membuat seolah-olah kegiatan tersebut benar-benar terlaksana,” tegas JPU dalam dakwaannya.
BACA JUGA: Kejari Lubuk Linggau Terus Selidiki Dugaan Korupsi APAR Rp4 Miliar di Muratara
Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sidang akan kembali dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan ahli dari pihak penuntut umum, guna memperdalam dugaan keterlibatan pihak lain dalam praktik markup yang merugikan keuangan negara tersebut. (*/red)